My Ekspression

My Ekspression
Talk Less Do More

Selasa, 12 Mei 2009

Kebijakan dan Pengelolaan Pendidikan antara Pusat dan Daerah

Tahun III No. 2, April - Juni 2004
Kebijakan dan Pengelolaan Pendidikan antara Pusat dan Daerah


Oleh : Drs. Faisal Madani, MSc. Ed

Latar Belakang
Dalam the World Competitiveness Yearbook yang diterbitkan International Institute for Management Development terjadi penurunan peringkat daya saing Indonesia secara global. Pada tahun 1998, Indonesia masih berada pada peringkat ke-46 dari 47 negara, yang menurun dari peringkat ke-40, pada tahun 1999, dan secara tajam menurun dari peringkat ke-39 pada tahun 1997. Produktivitas nasional Indonesia berada di bawah negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura. Sejak tahun 1997, tingkat produktivitas sektor manufaktur lebih rendah ketimbang Jepang, Singapura, Taiwan, Korsel, Malaysia, dan Filipina. Survei yang dilakukan di 53 negara oleh World Economic Forum (1999) menunjukkan bahwa penerapan hasil-hasil penelitian dan pengembangan teknologi di Indonesia masih rendah, sehingga peringkat Indonesia hanya menempati posisi ke-48 dari 53 negara. Hal ini menyebabkan Indonesia berada pada papan bawah dalam perkembangan teknologi dunia, sementara AS dan Singapura pada urutan pertama dan dua belas.Human Development Index (HDI) Indonesia pada tahun 1995 menempati ranking 104, dan pada tahun 2000 menempati urutan 109, tahun 2002 urutan ke 110 dan 112 pada tahun 2003. Di antara negara-negara ASEAN, pada tahun 1997 IPM Indonesia menempati peringkat ke-6, dimana nilai IPM yang tertinggi dicapai oleh di Singapura (88,8) dan Brunei Darussalam (87,8) dan yang terendah adalah di Laos (49,1). Rendahnya peringkat daya saing Indonesia di dunia juga tergambar alam berbagai permasalahan menyangkut struktur dan produktivitas sektor industri dan perdagangan sebagai sektor yang paling erat dengan produkvititas nasional di era persaingan global.
Rendahnya peringkat daya saing Indonesia di era persaingan global ini dapat dipandang bahwa pendidikan belum berhasil dalam menghasilkan mutu SDM. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti anggaran pendidikan, profesionalisasi SDM pengelola pendidikan, penekanan yang terlalu berat terhadap perluasan pendidikan, serta lemahnya orientasi pendidikan terhadap peningkatan produktivitas nasional. Pada masa yang lalu, pendidikan lebih dipandang semata-mata sebagai upaya pemerintah dalam rangka mencerdaskan masyarakat tanpa harus dikaitkan dengan pembangunan sektor lain, misalnya ekonomi. Konsep ini lebih menonjolkan tujuan pendidikan yang bersifat ke dalam (inward looking) yaitu mendidik manusia agar cerdas, berkepribadian, dan berpengetahuan luas. Adakah manfaat dari kecerdasan, pengetahuan, kepribadian tersebut terhadap pembangunan ekonomi belum dianggap penting. Jaman terus berubah dan bidang bidang kehidupan semakin saling bergantung (interdependent) satu sama lain. Oleh karena itu, pembangunan pendidikan haruslah semakin berorientasi keluar (outward looking) karena sistem pendidikan merupakan bagian integral dari sistem yang lebih luas yaitu sistem ketahanan nasional.
Tiga Agenda Pokok Kebijaksanaan Pendidikan
Pendidikan Dasar
 Pendidikan dasar perlu diperluas wawasannya. Komponen pendidikan ini harus menjadi landasan yang kokoh untuk mewujudkan sistem pendidikan yang bermutu dan efisien dalam rangka menghasilkan SDM yang bermutu. Pada dasarnya, pendidikan dasar bisa dibedakan ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) program pendidikan dalam satuan pendidikan dasar SD dan SLTP yang meliputi seluruh isi dan proses yang tercakup dalam kurikulum serta program pendidikan pada jenjang pendidikan ini; (2) bidang-bidang studi (mata pelajaran atau mata kuliah) yang harus diperoleh semua peserta didik pada semua jalur, jenis dan jenjang, seperti: pendidikan agama, pendidikan kewargaan negara (civics), dan bahasa Indonesia; dan (3) garapan Pendidikan dasar lainnya, seperti: pendidikan anak usia dini (PAUD), pendidikan luar biasa, pendidikan keaksaraan (Paket A, Paket B, dan pemberantasan buta aksara), dan pendidikan keluarga.
 Pendidikan dasar yang bermutu akan merupakan landasan yang kokoh untuk memperkuat pengembangan mutu SDM di jenjang pendidikan berikutnya. Investasi SDM melalui pendidikan dasar secara konsisten memberikan tingkat balikan yang paling tinggi diantara jenjang pendidikan. Dengan demikian kebijaksanaan peningkatan mutu pendidikan dasar tetap masih harus menjadi sasaran prioritas tertinggi yang tidak mungkin tergantikan oleh kebijaksanaan lain.
Pembiayaan Pendidikan
Sebagai suatu investasi produktif, pembangunan pendidikan harus memperhitungkan dua konsep penting, yaitu biaya (cost) dan manfaat (benefit) pendidikan. Berkaitan dengan biaya pendidikan itu sendiri terdapat empat agenda kebijaksanaan yang perlu mendapat perhatian serius, yaitu (1) besarnya anggaran pendidikan yang dialokasikan (revenue), (2) aspek keadilan dalam alokasi anggaran, (3) aspek efisiensi dalam pendayagunaan angaran, serta (4) anggaran pendidikan dan desentralisasi pengelolaan.Efisiensi Pendayagunaan Anggaran Pendidikan; walaupun biaya pendidikan bukan satu-satunya faktor yang menentukan berhasilnya pengembangan kualitas SDM, besarnya anggaran pendidikan pasti bermanfaat untuk mempercepat upaya peningkatan mutu pendidikan jika didayagunakan secara efisien. Agenda pembiayaan pendidikan ini berkaitan erat dengan dua konsep efisiensi teknis, yaitu (1) efisiensi internal, penggunaan dana yang efektif atas dasar komposisi item-item pengeluaran yang paling tepat (misalnya Ketenagaan, sarana-prasarana, biaya operasional, pengelolaan, dsb.) untuk mencapai produktivitas yang paling tinggi; dan (2) efisiensi eksternal, yaitu penggunaan anggaran menurut komposisi jenis atau jenjang pendidikan (dasar, menengah, tinggi, pendidikan umum vs kejuruan, pendidikan akademis vs profesional, dsb.) yang paling memberikan dampak positif terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Berdasarkan agenda-agenda kebijaksanaan menyangkut pembiayaan pendidikan tersebut, beberapa strategi berikut perlu dikaji secara mendalam.Perlu upaya sistematis dan terprogram untuk memperjuangkan anggaran pendidikan yang lebih besar. Upaya ini adalah suatu proses politik untuk meyakinkan setiap kelompok kepentingan dan kelompok penekan (pressure groups) baik di parlemen maupun masyarakat luas. Salah satu strateginya adalah meningkatan pemahaman yang mendasar secara meluas bahwa pengeluaran untuk biaya pendidikan merupakan suatu investasi SDM yang produktif, sebagimana investasi produktif lainnya.Perlu dilakukan realokasi angaran pendidikan yang paling efektif berdasarkan jenjang dan jenis pendidikan, dengan mempertimbangkan sub-sektor pendidikan mana yang harus didanai paling besar dan dari sumber mana. Berdasarkan penelitian dari sejumlah negara, pendidikan dasar harus memperoleh anggaran yang terbesar (sedikitnya 50%) sebagai investasi pemerintah (public investment). Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin kecil peranan pemerintah dalam pembiayaan, dan semakin besar pembiayaan yang perlu ditanggung oleh sektor swasta dan rumah tangga. Sebagai sektor produktif (productive goods) pendidikan kejuruan, keahlian, dan pendidikan profesional merupakan investasi swasta dan perorangan dan oleh karena itu anggaran pemerintah harus relatif kecil yang lebih berfungsi sebagai subsidi (public outlay) saja.
Pemerataan dan keadilan dalam alokasi anggaran pendidikan harus mampu mendorong pemerataan mutu dan efisiensi pendidikan, khususnya pendidikan dasar sebagai pendidikan wajib. Kemampuan daerah dalam pembiayaan pendidikan dasar perlu dipertegas melalui suatu sistem yang lebih terkontrol (misalnya sistem pajak kekayaan daerah) dengan pengelolaan yang lebih efektif di daerah agar anggaran pemerintah yang lebih besar benar-benar teralokasikan pada tingkat daerah, khususnya segmen masyarakat yang kurang mampu.Perlu dilakukan analisis yang teliti dan mendalam terhadap beberapa agenda kebijaksanaan mengenai pembiayaan pendidikan sebagai landasan untuk mengatur kembali sistem pembiayaan pendidikan yang efektif. Berbagai penelitian dan kajian perlu dilakukan dalam mewujudkan strategi mengenai pembiayaan pendidikan.
Desentralisasi Pengelolaan Pendidikan
Dalam kerangka otonomi dan desentralisasi pendidikan, pemerintah pusat hendaknya lebih berperan dalam menghasilkan kebijaksanaan mendasar dan strategis. Kebijaksanaan operasional menyangkut variasi keadaan daerah dan pelaksanaan teknis didelegasikan kepada pejabat daerah bahkan sekolah. Wewenang daerah yang perlu dikembangkan adalah urusan-urusan yang lebih operasional berkaitan dengan penanganan permasalahan di setiap daerah.Â
Salah satu kebijaksanaan penting pemerintah pusat adalah menetapkan standar mutu pendidikan secara nasional. Fungsi ini antara lain diwujudkan melalui penetapan strandar minimal penyelenggaraan pendidikan di sekolah serta hasil-hasilnya. Standar minimal ini menyangkut sarana-prasarana pendidikan, kompetensi SDM pendidikan, konten minimum pendidikan, serta kemampuan minimal siswa yang harus dicapai. Untuk mencapai standar kemampuan minimal siswa, pejabat daerah dan kepala sekolah diberikan keleluasaan untuk mengelola pengadaan, alokasi, pemeliharaan serta pendayagunaan secara efisien sarana-prasarana pendidikan. Sementara itu, sekolah diberi keleluasaan mengelola sumberdaya yang bervariasi menurut satuan pendidikan di setiap daerah untuk menciptakan suasana belajar yang kondusif bagi siswa.
Standar mutu menyangkut dua aspek, yaitu aspek administratif (pemerataan sumberdaya pendidikan) serta aspek substansi (pencapaian mutu hasil pendidikan). Mutu akademis pendidikan perlu dikendalikan oleh pemerintah pusat dengan melalui lembaga profesional bidang pengujian dan pengukuran. Sementara itu pengendalian aspek administratif dilakukan oleh pemerintah daerah, agar rentang pengawasan tidak terlalu jauh. Pada tingkatan sekolah, pengendalian mutu pendidikan juga diwujudkan dengan memfungsikan pemakai jasa pendidikan di dalam suatu lembaga kontrol. Sekolah mempertanggungjawabkan pencapaian hasil pendidikan secara proporsional terhadap semua pihak sesuai dengan kontribusi masing-masing pihak (seperti orangtua murid, pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan organisasi sosial) yang mekanisme dan diorganisasinya perlu diatur oleh Perda.
Kemampuan pengelola daerah perlu ditingkatkan untuk mengumpulkan, menganalisis, serta mendayagunakan data dan informasi pendidikan di daerah agar mereka mampu memahami dan sekaligus akan memikirkan pemecahan masalah pendidikan di daerahnya. Selanjutnya, berdasarkan data dan informasi kedaerahan, pembinaan para pengelola daerah dan sekolah perlu dilakukan terutama yang berkaitan dengan: penyusunan program pendidikan; pengkajian permasalahan pendidikan; pengembangan kurikulum kedaerahan; pengadaan dan penyebarluasan buku dan alat pelajaran; pengaturan pelaksanaan ujian sekolah; pengelolaan anggaran pendidikan; serta monitoring terhadap sarana-prasarana pendukung.
Dilihat dari aspek anggaran, desentralisasi pengelolaan pendidikan dapat ditempuh melalui dua pendekatan, yakni pendekatan pengeluaran (expenditure) dan pendekatan pendapatan (revenue). Kedua pendekatan tersebut perlu dikaji secara cermat untuk penerapannya di Indonesia. Dari sisi pengeluaran, desentralisasi dilakukan hanya dalam pengelolaan pengeluaran yang anggarannya bersumber dari pemerintah pusat. Melalui pendekatan ini, subsidi pemerintah diberikan ke daerah atau setiap satuan lembaga pendidikan dalam bentuk paket (block grant) dan pengelolaan pengeluaran sepenuhnya diserahkan kepada daerah atau satuan pendidikan.


http://www.yipd.or.id/publikasi/index.php?act=ndetail&sub=article&p_id=8
Pada tanggal 11 Mei 2009, pukul 07.46

0 komentar: